terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download

>10.000 artikel menarik ada disini,silahkan cari:

Setara Institute: Revisi Kilat UU Pilkada Cacat, Ditafsir Sesuai Selera Vetokrat - my blog

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Setara Institute: Revisi Kilat UU Pilkada Cacat, Ditafsir Sesuai Selera Vetokrat
Aug 22nd 2024, 05:06, by Mirsan Simamora, kumparanNEWS

Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani. Foto: Dok. Pribadi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani. Foto: Dok. Pribadi

SETARA Institute mengkritik Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang menyepakati revisi UU Pilkada dan dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pengajuan calon gubernur, bupati, wali kota.

Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani, mengatakan keputusan Baleg DPR sebagai bentuk cara para elite memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi.

"Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elite yang memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi, yang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas," kata Ismail lewat keterangannya, Kamis (22/8).

Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebut keputusan tersebut juga cacat secara materiil dan formil. Sebab, rumusan yang diambil dalam penafsiran sesuai selera kepentingan, termasuk dalam penentuan batas usia pencalonan.

"Bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidat Pilkada," jelasnya.

Mendagri Tito Karnavian menerima berkas pandangan mini Fraksi Partai Gerindra  dalam rapat pengambilan keputusan pembahasan RUU Pilkada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Mendagri Tito Karnavian menerima berkas pandangan mini Fraksi Partai Gerindra dalam rapat pengambilan keputusan pembahasan RUU Pilkada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO

"Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD. Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan," lanjutnya.

Putusan MK Final dan Mengikat

Baleg DPR, lanjut Ismail, tak punya kewenangan dalam menganulir keputusan MK karena berkekuatan hukum tetap dan mengingat. Sikap Baleg DPR adalah bentuk pelanggaran hukum.

"Putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing. Kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU. Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances," katanya.

Ismail menilai, keputusan yang serba kilat itu bukti bahwa tak ada kepemimpinan dalam konstitusi. Padahal tak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsirkan keputusan MK.

"Peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi," ujarnya.

Tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali Mahkamah Konstitusi yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi, -- Ismail

Sikap Baleg DPR itu, kata Ismail, akan merusak sistem ketatanegaraan dan membuatnya semakin rapuh.

"Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat republik, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi setrum perumusan legislasi dan kebijakan publik," tandasnya.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar: