terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download

>10.000 artikel menarik ada disini,silahkan cari:

ELSAM: Pencatutan NIK untuk Pilkada Adalah Pelanggaran Undang-Undang - my blog

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
ELSAM: Pencatutan NIK untuk Pilkada Adalah Pelanggaran Undang-Undang
Aug 16th 2024, 12:27, by M. Rizki, kumparanNEWS

Ilustrasi KTP. Foto: Shutterstock
Ilustrasi KTP. Foto: Shutterstock

Dugaan pencatutan KTP warga terjadi dalam pencalonan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dalam Pilkada DKI Jakarta 2024.

Sebelumnya, pada 19 Juni, pasangan calon itu telah menyerahkan 1.229.777 dukungan dan hanya 447.469 dukungan yang terverifikasi melalui Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Sementara itu, 782.308 sisanya dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Percobaan selanjutnya pada 25 Juli 2024, mereka menyerahkan 721.221 KTP-el dari jumlah minimal yang dipersyaratkan sebanyak 618.968. Namun dalam proses verifikasi faktual, hanya 183.043 KTP yang dinyatakan memenuhi syarat. Dalam proses verifikasi faktual kedua, dukungan sebanyak 826.766 kepada calon tersebut dinyatakan lolos administrasi dan terdapat 494.467 dukungan yang dinyatakan memenuhi syarat.

Jumlah hasil verifikasi faktual pertama sebanyak 183.043 KTP-el ditambah 498.467 KTP el pada verifikasi faktual kedua membuat pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi dukungan minimal.

Bacagub DKI, Dharma Pongrekun; dan Bacawagub DKI, Kun Wardana Abyoto, menyambangi kantor KPU DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2024). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
Bacagub DKI, Dharma Pongrekun; dan Bacawagub DKI, Kun Wardana Abyoto, menyambangi kantor KPU DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2024). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan

Berdasarkan Surat Keputusan KPU RI No. 532/2024, KPU melakukan verifikasi terhadap dokumen syarat dukungan yang diserahkan dan diinput oleh pasangan melalui SILON (Sistem Informasi Pencalonan).

Verifikasi administrasi ini dilakukan dengan mencocokan kebenaran dokumen dukungan masing-masing pendukung yang dilampiri dengan fotokopi KTP-el atau surat keterangan berupa biodata penduduk atau dokumen kependudukan lainnya yang sah dan surat pernyataan identitas pendukung. Proses ini juga berusaha melihat kesesuaian antara nama, nomor induk kependudukan, jenis kelamin, alamat, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, dan status perkawinan pendukung.

Verifikasi administrasi kemudian ditindaklanjuti melalui verifikasi faktual (verfak) yang dilakukan dengan metode sensus. Surat Keputusan KPU No. 532/2024 pelaksanaan verifikasi faktual dengan metode sensus.

Dalam proses ini, KPU sebenarnya dapat meminta anggota keluarga pendukung atau masyarakat setempat untuk bertanda tangan sebagai saksi pada lembar kerja PPS, jika pada saat verifikasi faktual, pendukung menyatakan tidak memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan.

Dalam melakukan berbagai proses dan tahapan tersebut, semestinya KPU juga memperhatikan kewajiban pelindungan data pribadi, sebagaimana diatur oleh UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), karena berkaitan dengan pemrosesan data pribadi dari subjek data–warga negara.

Catatan ELSAM

Berdasarkan situasi tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mencatat beberapa hal, sebagaimana disampaikan Direktur riset ELSAM Wahyudi Djafar kepada kumparan pada Jumat (16/8):

Pertama, terdapat pelanggaran pelindungan data pribadi yang dilakukan pasangan calon Dharma Pongrekun dan Kun Wardana karena diduga telah melakukan pemrosesan data yang bukan miliknya secara melawan hukum.

Pemrosesan KTP-el yang dilakukan untuk tujuan pencalonan memerlukan dasar hukum pemrosesan berupa persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi (calon pendukung) atas tujuan kandidasi calon tertentu (Pasal 20 ayat (2) huruf a UU PDP).

Untuk meminta persetujuan ini, pasangan calon harus menjelaskan menjelaskan tujuan pemrosesan data, jenis data apa saja yang akan diproses, jangka waktu retensi dokumen, rincian informasi yang dikumpulkan. Dugaan pencatutan tersebut mengindikasikan bahwa data diproses tanpa persetujuan apa pun dari subjek data.

Bahkan dalam UU PDP, tindakan tersebut merupakan bagian yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan Pasal 65 (1) UU PDP menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak 5 miliar rupiah (Pasal 67 (1) UU PDP).

Selain itu, ketentuan Pasal 95 UU Administrasi Kependudukan mengatur larangan tanpa hak mengakses database kependudukan, yang diancam pidana penjara 2 tahun dan denda 25 juta rupiah.

Sebagai perbandingan, bentuk pelanggaran seperti di atas, juga terjadi di negara-negara Uni Eropa yang telah secara baik menerapkan hukum pelindungan data pribadi, termasuk memiliki regulasi khusus yang berkaitan dengan penggunaan data pribadi dalam Pemilu. Di Belgia misalnya, pada 2020, salah satu kandidat dalam Pemilu lokal dikenakan sebesar EUR 5.000, oleh otoritas pelindungan data, dikarenakan melakukan pengumpulan data pribadi konstituen secara tidak sah, untuk kepentingan kampanyenya.

Pun demikian di Hungaria, pada 2020, salah satu kandidat wali kota juga dihukum denda administratif sebesar HUF 100.000 oleh otoritas pelindungan data setempat, dikarenakan dasar hukum yang digunakan untuk memproses data pribadi dinilai tidak memadai.

Direktur riset ELSAM Wahyudi Djafar. Foto: Dwi Herlambang/kumparan
Direktur riset ELSAM Wahyudi Djafar. Foto: Dwi Herlambang/kumparan

Kedua, terdapat kejanggalan dalam proses verifikasi administrasi dan verifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU DKI Jakarta terhadap syarat pencalonan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana. KPU sebagai pengendali data atas SILON wajib memastikan akurasi, kelengkapan, dan konsistensi data yang dikelola dalam sistemnya (Pasal 29 UU PDP).

Oleh karena itu, banyaknya pencatutan yang diduga dilakukan dalam kandidasi Pilkada serentak mengindikasikan kegagalan KPU sebagai pengendali dalam menjamin akurasi data bahkan setelah disediakan mekanisme verifikasi administrasi hingga verifikasi faktual.

Apalagi, verifikasi faktual harusnya memungkinkan suatu mekanisme di mana anggota keluarga pendukung atau masyarakat setempat untuk bertanda tangan sebagai saksi pada lembar kerja PPS, jika pendukung menyatakan tidak memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan.

Ketiga, KPU belum secara konsisten menerapkan kewajiban kepatuhan terhadap UU PDP, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi dalam penyelenggaraan Pemilu. Hal ini terlihat dari belum adanya integrasi dan adopsi standar kepatuhan pelindungan data pribadi, dalam kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan penggunaan data pribadi, untuk kepentingan pemenuhan persyaratan pencalonan.

Selain itu, dalam proses verifikasi semestinya KPU juga memastikan keabsahan perolehan data pribadi yang digunakan sebagai persyaratan, tidak semata-mata mengacu pada keterpenuhan kelengkapannya.

Sebagai informasi, praktik seperti ini juga terjadi pada saat proses verifikasi partai partai politik peserta Pemilu 2024, ketika sejumlah NIK dicatut oleh beberapa partai politik sebagai anggotanya.

Lebih jauh, situasi ini juga kian memperkuat dugaan kebocoran data pribadi pada lembaga-lembaga, baik publik maupun privat, yang mengumpulkan data kependudukan (KTP-el). Misalnya pada insiden yang terjadi pada KPU sendiri pada tahun 2023, dan dugaan kebocoran data kependudukan yang terjadi pada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri.

Sayangnya, sampai dengan saat ini, tidak pernah ada investigasi yang tuntas atas dugaan berbagai insiden kebocoran data tersebut. Dengan maraknya pencatutan dokumen kependudukan tersebut, maka menjadi pertanyaan besar darimana pasangan calon memperoleh KTP-el warga secara ilegal untuk digunakan sebagai syarat dokumen yang diserahkan kepada KPU.

Guna memastikan pelindungan hak subjek data, dalam kapasitas mereka sebagai calon pemilih, serta memastikan integritas Pilkada serentak 2024, ELSAM menekankan:

  • KPU segera melakukan verifikasi ulang terhadap kandidat yang mengumpulkan dokumen persyaratan  secara melawan hukum,  terutama yang berkaitan dengan data pribadi pemilih, dan memastikan kewajiban kepatuhan terhadap UU PDP dalam melakukan proses verifikasi.

  • Pasangan calon, yang diduga mengumpulkan dan menggunakan data pribadi secara melawan hukum (tidak memenuhi dasar hukum pemrosesan sebagaimana diatur dalam UU PDP), segera melakukan klarifikasi pada seluruh subjek data yang dicatut data pribadinya, yang ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pemusnahan (data cleansing).

  • KPU segera merumuskan kebijakan pelindungan data pribadi untuk penyelenggaraan Pemilu, pengembangan pedoman perilaku pelindungan data pribadi bagi penyelenggara Pemilu, juga pengadopsian seluruh standar kepatuhan pelindungan data pribadi dalam seluruh kebijakan dan sistem informasi yang dikembangkan, terutama yang memproses data pribadi, untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dalam fungsi-fungsi yang berkaitan dengan pengelolaan data pribadi.

  • KPU melakukan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia bagi para penyelenggara Pemilu, berkaitan dengan kewajiban pelindungan data pribadi, untuk memastikan mereka memiliki kapasitas pengetahuan yang memadai dalam melindungi data pribadi yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu.

  • KPU secara terus-menerus memberikan informasi dan pengingat pada seluruh peserta pemilu, baik partai politik maupun kandidat, untuk memastikan kepatuhan terhadap pelindungan data pribadi, dalam penggunaan data pribadi warga negara, yang berkaitan dengan persyaratan keikutsertaan dalam Pemilu.

  • Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagai lembaga pengawas Pemilu yang menjamin integritas dan berjalannya prinsip-prinsip penyelenggaraan Pemilu (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil), memastikan KPU dalam menjamin pelindungan data pribadi pemilih, sebagai bagian dari pelindungan hak pemilih, sekaligus upaya menjaga integritas Pemilu.

  • Subjek data yang dirugikan akibat penyalahgunaan data pribadi yang berkaitan dengan Pemilu, dapat melakukan langkah-langkah tindak lanjut, sesuai dengan jaminan hak-hak subjek data, sebagaimana telah diatur dalam UU PDP, salah satunya adalah hak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data pribadi tentang dirinya (Pasal 12 UU PDP).

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar: