terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download
Jadi korban pelecehan oleh keluarga sendiri itu rasanya kaya kamu mau gila, mau bunuh diri aja. Setiap hari rasanya hidup enggak tenang."
- Bika (26 tahun), korban inses oleh ayah, paman, dan kakeknya
Bika tak pernah lagi menganggap rumah orang tuanya sebagai tempat pulang setelah kejadian 20 tahun lalu. Meski hanya bangunan tak bernyawa, rumah itu menerjang Bika lewat trauma yang ia alami selama 12 tahun, sejak umur 4 sampai 16 tahun, saat ia menjadi korban pelecehan seksualinses.
Bika (bukan nama sebenarnya) lahir di Jakarta tahun 1999 dan tinggal bersama orang tua serta saudara laki-lakinya. Saat usianya 4 tahun, ibunya minggat dari rumah untuk kerja di luar negeri dan kemudian memiliki keluarga baru. Bika ditinggalkan bersama ayah dan kakak lelakinya.
Sebagian masa kecil Bika pun dihabiskan bersama dua laki-laki terdekatnya itu. Saat berusia 5 tahun, Bika dipindahkan ke rumah nenek dari pihak ibunya di salah satu daerah di Jawa Barat.
Bika ketika itu belum memahami alasan ia dipindahkan ke Jawa Barat. Sampai suatu waktu ia mendengar pertengkaran telepon antara keluarga dari pihak ibu dan bapaknya mengenai hak asuh. Bika rupanya diperebutkan dua keluarga.
Ilustrasi kekerasan pada anak. Foto: Master1305/Shutterstock
Kesadaran Bika tumbuh saat orang tuanya ribut-ribut di telepon berebut hak asuh atasnya. Ketika itu pula ia dibawa ke dapur untuk bicara empat mata dengan tantenya.
Bika tak ingat pasti pertanyaan sang tante dan responsnya kala itu. Namun ia mengingat tantenya lalu menangis. Kala itu, tersibak hal kelam yang ia alami selama tinggal bersama ayahnya. Kejadian itu ia pendam dan bertumpuk menjadi rasa takut.
Ayahnya acap menggesek-gesekkan alat vitalnya ke bagian intim Bika, dan itu tak hanya sekali. Yang paling terekam dalam kepala Bika adalah saat kakaknya sepulang sekolah memergoki kelakuan bejat ayahnya. Namun sang kakak hanya diam dan mematung, seakan tak mampu membela Bika.
"Jijik banget ingat-ingatnya. Marah. Pengen nangis, pengen teriak," kata Bika kepada kumparan, Jumat (23/5).
Kemungkinan tantenya menangis karena telah mendengar kelakuan ayah Bika usai kepergian sang ibu.
"[Saat mengobrol dengan tante], aku baru tahu kalau [perlakuan ayah ke aku] itu pelecehan," ujar Bika.
Bika lalu pindah ke rumah kakek-neneknya di salah satu kota di Jawa Barat.
Korban kekerasan seksual. Foto: TimeImage Production/Shutterstock
Siapa sangka, Bika bak keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Setelah pindah ke rumah kakeknya, ia bukannya aman, tapi malah dilecehkan lagi oleh kakek dan pamannya.
Bika kembali mendapat sentuhan-sentuhan fisik di daerah intimnya. Kala itu ia tak bisa berbuat apa-apa. Sampai berumur 16 tahun, Bika sering dilecehkan di rumah kakeknya.
"Aku kira pindah kota bisa bikin aku aman, tahunya makin bahaya. Aku ngerasa takut, enggak aman hidup di rumah," kata Bika.
Bika kecil tak pernah menceritakan apa yang ia alami ke siapa pun. Ia hanya memendamnya menjadi amarah yang meluap dalam bentuk tangisan.
Setelah beranjak dewasa, Bika pergi dari rumah kakeknya dan sempat tinggal di rumah milik ibunya. Ketika itu, ia tinggal berdua bersama tantenya di rumah tersebut. Namun, kini Bika hidup mandiri dan tinggal sendiri.
Bika yang bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta menjalani hari-harinya dengan beban trauma 20 tahun lalu.
"Ngerasa enggak percaya sama keluarga sendiri," kata Bika.
Ia membatasi interaksi dengan keluarganya. Bika tidak tahu keberadaan ayahnya, dan memang ia ingin menghilangkan ayahnya dari hidupnya.
"Kakek masih sering ngelakuin pelecehan, malah ke tante-tanteku yang itu anaknya sendiri," ujar Bika.
Bukan hal mudah bagi Bika melawan dan memulihkan trauma masa kecilnya. Sekadar memikirkannya saja susah, apalagi untuk speakup. Terbayang betapa bingungnya ia saat masih kecil dan tak tahu harus berbuat apa.
"Ke siapa aku harus mengadu? Enggak ada tempat yang aman buat aku mengadu [...] Mungkin karena aku dulu masih kecil, belum sekuat aku yang sekarang," ujar Bika.
Yang dialami Bika mempertegas temuan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bahwa kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan seksual, bak gunung es. Yang terlihat dari hanya secuil tapi di dalamnya mengakar.
Plt. Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu, mengatakan, kasus yang muncul ke publik hanya sedikit karena kekerasan dalam keluarga dianggap aib. Disembunyikan. Tidak banyak yang berani melaporkan.
Gedung Kementerian PPPA. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dalam Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun (SNPHAR) 2024, Kemen PPPA mendapati bahwa 9 dari 100 laki-laki dan perempuan usia 13–17 tahun mengalami salah satu bentuk kekerasan seksual atau lebih di sepanjang hidupnya. Sementara 4 dari 100 mengalaminya di 12 bulan terakhir. Survei ini dilakukan secara sampling terhadap 11 ribu responden di seluruh Indonesia.
Pribudiarta menjelaskan sampel 11 ribu responden tidak menggambarkan yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Survei ini dianggap hanya menangkap fenomena. Ia yakin korbannya lebih dari yang tergambar dalam jajak pendapat.
"Terlalu kecil untuk menjadikan itu detail. Karena itulah kemudian, dari hasil survei ini kita bisa melihat prevalensinya. Itu kan sebenarnya puluhan juta (dari total penduduk)," kata Pribudiarta.
Survei itu juga menemukan pelaku kekerasan seksual anak juga berasal dari lingkaran keluarga yang persentasenya mencapai 7,07%.
Komnas Perempuan menegaskan, inses termasuk kekerasan seksual di ranah keluarga. Dan fenomena ini memprihatinkan karena keluarga semestinya menjadi ruang paling aman untuk anak dan perempuan.
"Mestinya ketika dijerat itu nanti pelakunya itu malah bisa ditambah sepertiga hukumannya. Karena yang keluarga itu kan mestinya melindungi, tetapi malah menjadi predator," kata Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar, di kantornya, Rabu (21/5).
"Ini sangat memprihatinkan," tambahnya.
Senada dengan data Kemen PPPA, korban kasus grup inses di Facebook 'Fantasi Sedarah' dan 'Suka Duka', kebanyakan anak. Polisi mengungkap ada empat korban, tiga diantaranya masih ana-anak, masing-masing berusia 7, 8, dan 12 tahun. Satunya berusia 21 tahun.
Korban anak tersebut diduga dieksploitasi keluarga (paman) secara seksual. Dilecehkan secara seksual, non fisik dan fisik. Pelaku dan korban ditemukan di Jawa Tengah dan Bengkulu.
Jauh sebelum heboh grup Fantasi Sedarah, beberapa kasus inses sebenarnya sudah pernah menuai sorotan publik. Yang paling mungkin paling menggemparkan adalah kasus ayah bunuh 7 bayi hasil hubungan dengan anak di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, tahun 2023.
Ayah bernama Rudi (57) itu membunuh 7 bayi hasil hubungan inses dengan anaknya sejak tahun 2013, saat anaknya masih berusia 13. Perbuatan Rudi terungkap 10 tahun kemudian tepatnya tahun 2023.
Anak Rudi melahirkan 7 bayi selama 10 tahun tersebut dan semuanya dikubur hidup-hidup. Belakangan, kerangka bayi-bayi itu ditemukan di lahan bekas kolam tepi Sungai Banjaran, Kelurahan Tanjung, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Rudi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Terbaru, kasus pengirim paket jenazah bayi lewat ojek online (ojol) di Masjid Jamik, Jalan Ampera III, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan, pada Kamis 8 Mei 2025. Seorang pengemudi ojol mendapatkan orderan antar dari sepasang kekasih yang ternyata isinya adalah jenazah bayi.
Belakangan terungkap, bayi yang hendak dibuang lewat pengiriman paket ojol tersebut adalah hasil hubungan sedarah, antara R (24) dengan adiknya NH (21). Atas perbuatannya, keduanya ditangkap Polrestabes Medan.
Polisi melakukan proses olah TKP di lokasi penemuan empat kerangka bayi di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (22/6/2023). Foto: Idhad Zakaria/ANTARA FOTO
Bila Rumah Pun Tak Aman, ke Mana Lagi?
Bika sulit mempercayai keluarganya. Ia merasa tak punya tempat bercerita. Tak ada wadah untuk mengadu saat itu.
Ia sempat berpikir mengakhiri hidup. Hidupnya tidak tenang. "Bahkan sampai mati pun bakal ngerasa enggak tenang," katanya.
Bika mampu melanjutkan hidupnya dengan getir trauma. Ia berharap, jangan sampai jadi monster di keluarga sendiri. Rumah harusnya penuh kasih sayang dan rasa aman untuk semua yang tinggal di dalamnya.
"Tolong siapapun yang masih seperti itu, tolong berubah," pesan Bika.
Bika mungkin bisa melaluinya. Tapi bagaimana dengan Bika lain di luar sana. Rumah yang menjadi garda terdepan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan bisa berubah menjadi tempat paling menakutkan.
Komisioner KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Margaret Aliyatul Maimunah, mengatakan kekerasan keluarga patut menjadi perhatian. Rumah tangga adalah ruang privat yang secara bersamaan berpotensi menutup perilaku kekerasan.
"Keluarga ini kan harusnya menjadi garda depan nih dalam perlindungan anak dari berbagai apapun [...] Tetapi dengan adanya kasus ini itu kan menjadi situasi yang sebaliknya," kata Margaret, Kamis (22/5).
Karena keluarga dan rumah tak sepenuhnya menjamin keamanan, maka yang diperlukan, lanjut Margaret, ialah keterlibatan masyarakat. Peduli antar tetangga. Merajut dan mempererat tali silaturahmi dan ikatan sosial.
Keterkaitan dalam masyarakat dinilai mujarab untuk meminimalisir terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
"Ini membuka pikiran kita, membuka kesadaran kita, bahwa pentingnya kalau tetangga atau masyarakat di sekitar itu welcome atau peduli dengan yang ada di sekitarnya. Jangan kemudian ketika ada keluarga yang sangat tertutup, tetangganya, kemudian kayak enggak mau tahu ini atau abai, saya kira ini menjadi problem," jelasnya.
Bareskrim Polri membawa tersangka kasus grup Facebook Fantasi Sedarah saat dihadirkan di Bareskrim Polri pada Rabu (21/5/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Margaret juga berharap penindakan hukum secara tegas kepada pelaku. Pelaku pelecehan seksual yang merupakan kerabat mesti dihukum lebih berat sebagaimana tertuang dalam ancaman pidana undang-undang perlindungan anak: ancaman pidananya ditambah sepertiga dari hukuman yang seharusnya.
Hukuman berat untuk efek jera. Sekaligus menjadi edukasi ke masyarakat. Pelajaran agar tak nekat melakukan perbuatan serupa. Penindakan tegas juga secara tidak langsung membuat para korban berani speak up.
Sebagai penyintas, Bika menganggap speakup adalah keberanian paling puncak. Dan keberanian perlu disiram dengan penegakan hukum yang berpihak ke korban.
"Pesan buat korban yang merasakan hal yang sama: jangan takut buat speak up meskipun ke stranger … dengan kita speak up bisa menolong korban-korban lain yang masih ketakutan," ujar Bika berpesan pada sesama penyintas.
Kalau kalian masih tinggal di lingkungan yang sama dengan pelaku, kabur yang jauh. Kalau enggak bisa kabur, jangan takut buat ngelawan. Semoga ada kekuatan dan keberanian untuk melapor."- Bika, korban pelecehan seksual insesLipsus Inses. Foto: Adi Prabowo/kumparan
Jika Anda mengalami, melihat, mendengar, dan mengetahui tindak kekerasan pada perempuan. Jangan diam! Cerita ke orang terdekat, lapor ke pihak berwenang (polisi/pemerintah setempat), datangi UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak di tingkat Kabupaten Kota, atau telepon ke call center Kemen PPPA layanan SAPA 129 atau WA ke hotline 08111 129 129.
Anda juga dapat menghubungi layanan pengaduan yang dianggap nyaman semisal Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), LBH Apik, atau Komnas Perempuan.
"Jadi kalau dia enggak lapor, kita (pemerintah) enggak ngerti posisinya tuh, apakah dia (korban) masih baik-baik saja di bawah perlindungan dan pengasuhan kedua orang tuanya atau sudah berisiko," tutup Pribudiarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar