terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download
Aug 25th 2024, 08:44, by Anjas Rinaldi Siregar, Anjas Rinaldi Siregar
Baru saja masyarakat merasa terobati dengan "insafnya" Mahkamah Konstitusi (MK) pasca beberapa polemik yang ia lakukan akhir-akhir ini, keinsafan tersebut seakan menjadi sirna dengan tindakan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Badan Legislasi (BALEG DPR RI) yang membangkang terhadap Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 (Putusan 60) tentang penghapusan syarat ambang batas (threshold) pencalonan Kepala Daerah (PILKADA) yang diatur dalam Pasal 40 UU 10/2016 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 (Putusan 70) tentang syarat minimal calon Kepala Daerah yang diatur pada Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016.
Putusan-putusan tersebut dianulir secara terang-benderang oleh BALEG DPR RI dengan tidak menaati apa yang menjadi amar Putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Alasan penentangan tersebut salah satunya adalah karena terdapat Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 yang menafsirkan juga terkait syarat minimal usia calon Kepala Daerah, dan BALEG DPR RI memilih untuk merujuk kepada Putusan MA tersebut yang terlebih dahulu terbit.
Selain itu penentangan terhadap Putusan 60 dilakukan dengan alasan bahwa penafsiran MK mengenai ambang batas (threshold) Pemilihan Kepala Daerah tidak lengkap, sehingga DPR merasa memiliki kewenangan untuk menafsirkan kembali ambang batas pencalonan Kepala Daerah yang diatur dalam Pasal 40 UU 10/2016.
Terlepas dari alasan politis di balik pembangkangan tersebut, tulisan ini secara reflektif akan menjelaskan tentang kesalahan berpikir BALEG DPR RI dalam menyikapi Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Mahkamah Konstitusi, dan mengkritisi penafsiran sepihak BALEG DPR atas pasal yang baru saja ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir final konstitusi (the sole interpreter of constitution).
Kewenangan Pengujian MA dan MK
Jika merujuk secara cermat kepada Pasal 9 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), terdapat pembagian kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) antara MK dan MA, yakni: MK diberikan kewenangan pengujian atas suatu UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan MA berwenang untuk menguji suatu peraturan di bawah UU yang bertentangan dengan UU.
Adapun secara hierarkis, Pasal 7 UU PPP secara tegas menjelaskan bahwa semua peraturan haruslah tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 karena merupakan hierarki yang tertinggi. Maka ketika DPR berdalih menafsirkan kembali UU dengan tafsir yang berbeda, kemudian lebih menaati tafsir suatu peraturan di bawah UU dibandingkan tafsir konstitusi, maka sesungguhnya DPR sudah menafikan bahwa konstitusi (UUD 1945) adalah hukum tertinggi di negara republik Indonesia.
Dengan logika sederhana, sebetulnya sangat mudah untuk mendudukkan antara Putusan MA yang menafsirkan batas usia yang di atur oleh Peraturan KPU dengan Putusan MK yang menafsirkan batas usia yang diatur oleh UU.
Pertama: Peraturan KPU adalah peraturan turunan dari sebuah aturan dalam bentuk UU, otomatis Peraturan KPU tersebut harus mengikuti makna/tafsir dari UU. Kedua, jika UU yang tadi dirujuk oleh Peraturan KPU kemudian telah ditafsirkan berdasarkan UUD 1945 oleh lembaga yang berwenang yakni MK, maka otomatis apa yang menjadi makna dari UU pasca penafsiran MK, haruslah diikuti (mengekor) juga tafsirnya bagi Peraturan KPU karena UU yang menjadi rujukannya sudah ditafsirkan oleh MK.
Maka oleh karena UU Pilkada telah ditafsirkan agar sesuai dengan konstitusi (UUD 1945), tentu UU yang mestinya diterapkan adalah UU Pilkada versi penafsiran MK karena merupakan penyelarasan dari UUD 1945 sebagai konstitusi negara, bukan penafsiran versi MA yang merupakan pengujian terhadap peraturan yang posisinya bahkan di bawah UU.
Ketentuan tersebut pada hakikatnya selaras dengan ketentuan Pasal 10 UU PPP, yang menjelaskan bahwa materi muatan sebuah Undang-Undang, hanyalah terhadap 5 hal, dan Putusan MA tidak termasuk di dalamnya, karena Putusan Hak Uji Materiil (HUM/judicial review) MA bukanlah untuk mengubah/menafsirkan/membatalkan suatu UU, melainkan menafsirkan/membatalkan produk hukum di bawah UU, misal Peraturan KPU.
Sangat keliru ketika DPR ingin melakukan perubahan UU berdasarkan Putusan MA sebagai "alibi" untuk menganulir Putusan MK. Sementara, Pasal 10 UU PPP dengan sangat jelas menyatakan perubahan UU dilakukan adalah karena tindak lanjut Putusan MK bukan Putusan MA.
Tidak sulit untuk memahami ketentuan hukum tersebut yang sangat begitu jelas, namun DPR tetap saja bersikeras untuk menafsirkan UU berdasarkan Putusan MA, terlepas dari kepentingan apa pun, anulir terhadap Putusan MK adalah sebuah pembangkangan konstitusi (constitutional disobedience) yang sangat keji yang tidak mencerminkan negara hukum dan negara demokrasi.
Final dan Mengikat Putusan MK secara Langsung Pasca Putusan
Penting untuk ditegaskan bahwa dalam konteks pengujian suatu UU terhadap UUD 1945, sifat Putusan MK adalah final and binding artinya langsung berlaku mengikat saat diputus bahkan tanpa harus adanya mekanisme perubahan dari lembaga legislatif sebagaimana yang secara tegas diatur oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 (self executing). Jika kemudian pihak legislatif ingin menindaklanjuti putusan MK, maka perubahan UU wajib disesuaikan dengan apa yang telah ditafsirkan oleh MK.
Ketentuan demikian sudah diatur oleh Pasal 10 UU PPP yang menegaskan bahwa "materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: d. tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi". Kata "harus" menandakan bahwa ketika DPR ingin menindak lanjuti putusan MK maka "harus" sesuai dengan Putusan MK itu sendiri, bukan dengan tafsir lembaga lain, termasuk MA.
Sifat final and binding dan self executing Putusan MK ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum yang adil. Oleh karena berkaitan dengan hak konstitusional warga negara, maka tidak perlu menunggu eksekusi dari lembaga legislatif, karena akan memakan waktu yang cukup panjang. Sementara pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara tidaklah boleh dilakukan apalagi secara berkepanjangan. Mengutip pendapat yang disampaikan oleh Mantan Hakim Konstitusi Wahidudin Adams:
Maka mau tidak mau, suka tidak suka, mestinya DPR haruslah tunduk dan taat kepada Putusan MK bukan malah menganulir dengan melakukan rapat secara dadakan dan tergesa-gesa yang justru menimbulkan kekacauan dan gejolak di masyarakat.
Tetap Kawal Putusan MK
Pasca bergejolaknya respons dan aksi masyarakat atas rapat BALEG DPR RI yang membahas perubahan UU PILKADA dengan niat menganulir Putusan MK, akhirnya DPR memberikan sinyal kepada masyarakat Indonesia yang mengatakan bahwa DPR tidak akan melanjutkan pembahasan perubahan UU Pilkada hingga rapat paripurna, dan aturan yang dipakai saat hari pencalonan Kepala Daerah tanggal 27 – 29 Agustus 2024 adalah peraturan yang selaras dengan Putusan MK, hal tersebut juga diperkuat oleh Ketua KPU Mochammad Afifudin.
Namun demikian, tetap perlu kiranya mewaspadai, memantau, dan memastikan Putusan MK benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya. Seharusnya KPU jika ingin benar-benar memberikan kepastian kepada masyarakat, harus menerbitkan Peraturan KPU baru yang sesuai dengan syarat pencalonan Kepala Daerah sebagaimana Putusan MK. jika Peraturan KPU tersebut belum diterbitkan, maka kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah sangat relevan untuk dipertahankan.
Jika nantinya ternyata KPU tidak menerapkan peraturan pencalonan Kepala Daerah sebagaimana Putusan MK 60 dan Putusan MK 70, maka calon yang lolos atas kebijakan KPU tersebut harus didiskualifikasi baik oleh Bawaslu, maupun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada perkara PHPKADA nantinya.
Sebaliknya, jika memang Pemerintah maupun DPR benar-benar menghentikan langkahnya untuk menganulir Putusan MK, tentu masyarakat dapat bersyukur dan menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran dalam memilih wakil rakyat yang benar-benar peduli dengan rakyat dan demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar