terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download
>10.000 artikel menarik ada disini,silahkan cari:
PPN RI Bakal Disamakan dengan Singapura, Ekonom Ingatkan Dampak ke Dunia Usaha - my blog
Masa aksi tolak PPN 12 persen di Patung Kuda, Jakarta menerbangkan balon bertuliskan "PPN" pada Jumat (27/12). Foto: Abid Raihan/kumparan
Rencana pemerintah menurunkan lagi tarif tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) setara dengan Singapura menuai sorotan. Wacana penurunan tarif itu disampaikan Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo.
PPN yang berlaku di Singapura saat ini sebesar 9 persen. Sementara dalam negeri, tarif PPN 11 persen untuk barang nonmewah, dan 12 persen untuk barang mewah.
Merespons itu, ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Eddy Junarsin, mengatakan pentingnya konsistensi dalam kebijakan pajak. Ia menyebut perubahan tarif yang terlalu cepat dapat menciptakan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha.
"Efek penurunan PPN harus diteliti secara ilmiah, sulit untuk menjawab tanpa riset. Namun PPN itu baru naik, kalau naik-turun nanti bisa membuat bingung dunia usaha," jelas Eddy kepada kumparan, Sabtu (24/5).
Eddy mengusulkan pembenahan struktur tarif PPh orang pribadi, serta insentif pajak bagi korporasi yang menyerap banyak tenaga kerja sebagai langkah alternatif untuk memperkuat penerimaan pajak.
"Untuk PPh korporasi atau badan, bisa saja pemerintah memberi insentif kepada usaha yang mempekerjakan banyak orang, misalnya 22 persen untuk korporasi secara umum, 17 persen untuk korporasi yang mempekerjakan lebih dari 2.000 orang," imbuh dia.
Sementara ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyambut positif gagasan penurunan PPN, namun menilai langkah itu harus dibarengi strategi yang lebih luas.
"Penurunan tarif pajak PPN dari 11 persen ke 9 persen bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi karena masyarakat akan membelanjakan uang lebih banyak untuk beli barang dan jasa," ujar Bhima kepada kumparan, Sabtu (24/5).
Bhima mencontohkan, beberapa negara seperti Vietnam, Irlandia, dan Jerman yang menurunkan tarif PPN untuk mendorong pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Namun, mereka juga mengiringi kebijakan tersebut dengan insentif fiskal, perbaikan birokrasi, dan pengetatan pengawasan.
Menurut Bhima, penurunan tarif PPN bisa dikompensasi dengan naiknya penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) badan dan PPh 21 karyawan jika konsumsi meningkat. Industri pengolahan dalam negeri juga diprediksi menjadi sektor yang paling diuntungkan.
Namun, ia menegaskan kebocoran pajak di sektor sumber daya alam (SDA), terutama pertambangan dan perkebunan, masih menjadi hambatan besar.
"Mencegah kebocoran pajak di sektor SDA khususnya perkebunan dan pertambangan mineral batubara termasuk tambang ilegal," lanjutnya.
Bhima juga mendorong pelebaran ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 4,5 juta menjadi Rp 7-8 juta per bulan agar kelas menengah punya ruang belanja lebih besar.
Hashim Djojohadikusumo sebelumnya menyebut pemerintah tidak akan menaikkan tarif pajak. Melainkan mencari cara lain untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang saat ini masih tergolong rendah.
Selain itu, Hashim juga mengungkap ada rencana pemerintah untuk menurunkan tarif pajak agar setara dengan Singapura.
"Kami hanya akan mengambil pajak dari lebih banyak orang yang selama ini belum membayar pajak. Kita bisa menaikkan rasio hingga ke level Kamboja atau Vietnam tanpa harus menaikkan tarif pajak," ujar Hashim dalam DBS Asian Insight Conference di Hotel Mulia, Jakarta Selatan pada Rabu (21/5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar