terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download
>10.000 artikel menarik ada disini,silahkan cari:
100 Hari Kerja, Kebijakan Prabowo Dinilai Belum Konsisten di Sektor Energi - my blog
Jan 29th 2025, 16:16, by Nicha Muslimawati, kumparanBISNIS
Masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto genap mencapai 100 hari pada 28 Januari 2025. Kinerjanya di sektor energi dinilai belum ada kemajuan yang berarti, bahkan cenderung tidak konsisten.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, belum ada hasil nyata yang dicapai Prabowo di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam 100 hari.
Fahmy menyebutkan, Prabowo menyatakan komitmen untuk mencapai swasembada energi dalam 4-5 tahun dengan mengembangkan sumber daya yang berlimpah menjadi energi baru terbarukan (EBT).
"Masalahnya, kebijakan Menteri ESDM Bahlil tidak mendukung, bahkan bertentangan dengan komitmen Prabowo. Kebijakan Bahlil untuk menggenjot lifting minyak dan produksi batu bara mencederai terhadap komitmen Prabowo," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (29/1).
Selain itu, lanjut Fahmy, inisiatif DPR untuk memberikan prioritas konsesi pertambangan kepada Perguruan Tinggi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga bertentangan dengan komitmen Prabowo karena menggenjot produksi energi kotor batu bara.
"Kalau Prabowo membiarkan kebijakan Bahlil dan DPR berlanjut, maka komitmen Prabowo tidak lebih sekadar omon-omon belaka," tegas Fahmy.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan juga menilai tidak ada kemajuan signifikan dalam transisi energi terbarukan Indonesia selama 100 hari pertama kepemimpinan Prabowo.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, Koalisi mencatat sejumlah aspek dalam kebijakan transisi energi, yang mengacu pada rekomendasi delapan Quick Wins yang diserahkan kepada Tim Pertumbuhan 8 persen Prabowo-Gibran, bahkan mengalami kemunduran.
Kemunduran tersebut dapat terlihat dari langkah Prabowo yang justru memprioritaskan energi baru seperti hilirisasi batu bara, nuklir, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), dan gas. Padahal, dalam Quick Wins 2, Koalisi meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut.
Sayangnya, lanjut dia, pemerintah bahkan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/2025 tentang Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional. Keppres itu meminta perbankan nasional untuk membiayai proyek hilirisasi.
"Langkah pemerintah mengintegrasikan energi baru dan energi fosil sebagai bagian dari kebijakan strategis adalah suatu kemunduran, karena kami justru merekomendasikan agar sumber energi yang problematis dihindari," kata Bhima.
Koalisi juga menyoroti ketidakselarasan di dalam pemerintahan terkait rencana pensiun dini PLTU. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil, Prabowo telah menyatakan komitmen penghentian seluruh pembangkit listrik bertenaga fosil dalam 15 tahun ke depan.
Namun, menurut Bhima, komitmen pensiun dini PLTU yang menekankan penghentian total (phase-out) tersebut kini bergeser menjadi pengurangan kapasitas secara bertahap (phase-down).
Kemudian peninjauan ulang program bahan bakar nabati (biofuel), seperti biodiesel 50 persen (B50) dan lebih tinggi, serta bioetanol 10 persen, juga tidak berjalan.
Koalisi melihat biofuel berisiko menciptakan dampak negatif jangka panjang dan bertolak belakang dengan komitmen global Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Namun, pemerintah gencar mempromosikan pembukaan lahan baru untuk pangan dan energi tanpa dasar kajian yang memadai.
Selanjutnya, Koalisi juga mendorong evaluasi program co-firing biomassa di PLTU, karena berisiko besar menjadi solusi palsu yang hanya memperpanjang ketergantungan pada PLTU batu bara.
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menyebutkan pemerintah perlu segera mengkaji ulang pelaksanaan co-firing bila ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan inklusif, tanpa harus menjadi beban bagi sektor hutan.
"Kami juga melihat implementasi co-firing penuh kecurangan, salah satunya meningkatkan tonase biomassa dengan dicampur air sebelum dibakar di PLTU. Praktik ini jelas merugikan negara dan membohongi publik," ungkapnya.
Quick Wins lain yang juga direkomendasikan Koalisi yakni penerapan prinsip-prinsip lingkungan, sosial dan tata kelola (Environmental, Social and Governance/ESG) sebagai persyaratan mendapatkan perizinan investasi, demi menjamin inklusi sosial dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Plt Direktur Program Koaksi Indonesia, Indra Sari Wardhani, mengatakan pemerintah belum menunjukkan langkah konkret untuk mengimplementasikan secara resmi, meski Prabowo telah meminta investor Amerika Serikat yang berinvestasi di Indonesia untuk menerapkan ESG.
"Penguatan dan implementasi prinsip dan standar ESG seharusnya menjadi prioritas yang dibenahi dan menjadi bagian dari sistem pertahanan negara dari risiko dampak sosial dan lingkungan saat ini maupun dalam jangka panjang," tuturnya.
Koalisi juga belum melihat kemajuan yang berarti terkait Quick Wins insentif pembiayaan peralihan ke energi terbarukan bagi pemberdayaan UMKM dan koperasi.
Terakhir, Koalisi juga mengkritisi upaya pencapaian target Net Zero Emission (NZE) melalui implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang belum juga terealisasi. Pasalnya, pemerintah masih memberikan Sertifikat Pengurangan Emisi-Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) bagi proyek-proyek bahan bakar fosil, seperti PLTGU.
"Koalisi mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan NEK dan memastikan proyek-proyek yang diperdagangkan di bursa karbon benar-benar terbukti menurunkan emisi GRK secara signifikan, bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar