terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download

>10.000 artikel menarik ada disini,silahkan cari:

Mengakhiri Politik Biaya Tinggi - my blog

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Mengakhiri Politik Biaya Tinggi
Jul 14th 2024, 08:56, by Dede Rohana Putra, Dede Rohana Putra

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock

Menjelang Pilkada Serentak, November 2024 mendatang, salah satu tantangan terbesar dalam upaya mewujudkan pemilu yang berkualitas adalah politik biaya tinggi. Sebagai anggota parlemen provinsi sejak 2019, dan juga Caleg di pemilu lalu, penulis merasakan bagaimana high cost politics telah "memaksa" para kandidat untuk memilih antara spending dana lebih besar, atau tidak terpilih.

Visi, misi dan program yang seharusnya menjadi senjata utama dalam meyakinkan pemilih, faktanya tidak selalu mendapatkan sambutan. Sebaliknya bantuan langsung dan sejenisnya justru menjadi instrumen, yang sejatinya itu semua kontradiktif bagi tujuan untuk membangun demokrasi yang sehat.

Maka momentum pemilihan kepala daerah setidaknya dapat menjadi wake-up call bagi semua stakeholders pemilu, untuk melakukan sejumlah terobosan agar dapat mengakhiri—atau paling tidak meminimalkan—politik mahal sebagaimana pemilu 2024 lalu.

Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beberapa waktu lalu menunjukkan, dalam sekali pencalonan kepala daerah biaya perlu dipersiapkan mencapai Rp25 Miliar sampai Rp30 Miliar. Bahkan temuan KPK jauh lebih besar, di mana berdasar studi yang dilakukan lembaga anti-rasuah itu, modal pencalonan bahkan mencapai Rp150 Miliar.

Dana tersebut biasanya digunakan untuk menyiapkan jaringan, alat peraga kampanye, konsolidasi tim sukarelawan dan sebagainya. Jumlahnya pun tentu tidak sedikit dan biasanya tersebar secara terstruktur dalam berbagai tingkatan wilayah. Ini tentu memerlukan biaya operasional yang tinggi untuk dapat memobilisasi massa dalam jumlah besar.

Padahal sebagaimana kampanye di negara-negara demokrasi yang mapan, para kandidat di sana tidak memerlukan banyak uang, karena masyarakat justru menunggu program mereka. Ketika voters tertarik dengan program kandidat, maka tak jarang mereka akan bekerja sebagai sukarelawan tanpa imbalan. Bahkan pada kasus Barack Obama, masyarakat justru menyumbang untuk mendukung calon tersebut.

Mungkin level demokrasi kita belum mencapai titik itu. Tetapi jangan pula kita menariknya mundur, dengan menutup mata pada setiap pelanggaran. Idealnya kita berjalan, setahap demi setahap, sehingga berkembang budaya politik baru di kalangan politisi dan masyarakat, untuk menolak politik biaya tinggi.

Karena bila kita abai, menganggap isu tersebut sebagai business as usual, maka fenomena tersebut dapat menimbulkan distorsi dalam representasi politik. Para calon anggota legislatif maupun eksekutif yang memiliki gagasan yang baik dan kapabilitas kepemimpinan mumpuni sering kali kalah dengan kontestan lain yang gagasan dan jiwa kepemimpinannya lebih rendah namun bermodal besar.

Dalam jangka panjang, high cost politics akan menghasilkan oligarki, di mana mereka mengendalikan politik melalui biaya yang diberikan kepada sejumlah kandidat. Secara teori, oligarki adalah bentuk pemerintahan (pemilu) yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elite kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.

Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk "sedikit" dan "memerintah". Maka perlu komitmen bersama dan terobosan politik untuk menekan biaya politik agar para kandidat benar-benar mewakili rakyat, bukan menjadi alat oligarki.

Pasalnya bila kita (sekali lagi) lalai dengan ancaman di atas, maka akan muncul sejumlah konsekuensi. Pertama, peluang partisipasi politik yang semakin terbatas. Kelompok masyarakat sipil yang tidak memiliki kekuatan finansial dan modal politik, cenderung akan tersingkir dalam persaingan.

Kedua, korupsi dan dependensi. Biaya politik yang mahal sering kali berbuah dependensi atau ketergantungan calon kontestan terhadap suplai dana dari individu atau kelompok tertentu. Jika terpilih, tentu orientasi utamanya adalah mengembalikan modal, di samping mengabdi terhadap kepentingan pendananya. Dengan kata lain, politik yang mahal tidak hanya mempengaruhi kantong para politisi, tetapi juga kekuatan dan kualitas demokrasi secara keseluruhan.

Oligarki hingga Polarisasi

Ilustrasi Politik Uang. Foto: ANTARA FOTO
Ilustrasi Politik Uang. Foto: ANTARA FOTO

Ketiga, memicu berkembangnya oligarki politik. Praktik biaya politik yang tinggi bertendensi memperkuat dominasi politik oleh kelompok oligarki yang kuat secara finansial. Tentu hal ini akan mengarah pada kurangnya keragaman perspektif dalam representasi politik.

Lebih jauh, keadaan ini akan memperlebar jarak ketimpangan sosial dan ekonomi di kehidupan masyarakat. Elite politik yang memegang kendali atas sumber daya finansial mutlak memperoleh fasilitas dalam mengamankan imperium kekuasaan mereka.

Keempat, menguatnya polarisasi politik. Biaya politik yang tinggi kerap berjalan bersamaan dengan penguatan polarisasi politik. Kandidat atau partai politik yang memperoleh sokongan masif dari kelompok-kelompok tertentu cenderung memainkan isu-isu yang menguntungkan investor mereka.

Tentu saja hal ini memungkinkan termarjinalkannya kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas. Jika terus dibiarkan, kondisi ini akan memperdalam perpecahan di tengah-tengah masyarakat dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik.

Lalu apakah masih ada harapan bagi demokrasi kita untuk sehat kembali? Sebagai politisi muda, penulis selalu optimis bahwa ada jalan keluar bila serius mengakhiri praktik tersebut. Setidaknya ada lima hal yang harus segera dilakukan.

Pertama, diperlukan aturan pembatasan pengeluaran (spending) kandidat dan partai politik. Hal ini harus dilakukan agar kompetisi politik menjadi lebih adil dan bermartabat. Negara sudah harus turun-tangan lebih jauh lagi untuk mengatur dan menetapkan besaran maksimal dana kampanye yang diperbolehkan untuk digunakan oleh calon dan partai politik.

Dengan demikian mereka akan terlepas dari ketergantungan dengan dana tanpa batas dari swasta. Hal positif lainnya adalah aktor-aktor politik terhindar dari jebakan oligarki kapitalistik. Lalu transparansi aturan dan mekanisme pendanaan politik juga harus ditingkatkan untuk memperbaiki akuntabilitas politik.

Tentu saja transparansi ini harus mencakup pengungkapan dari mana sumber dananya dan dana kampanye itu dilaporkan penggunaannya untuk apa saja. Publik harus tahu dari dan ke mana saja aliran dana si kontestan dan partainya.

Kedua, reformasi sistem pemilu. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi sistem pemilu karena hajat demokrasi nasional baru saja berakhir. Evaluasi yang dilakukan jauh-jauh tahun dari hari pelaksanaan pemilu akan menghindari stigma mengakomodir kepentingan politik.

Segala hal yang menjerumuskan pada kemunduran sistem pemilu dan demokrasi harus dihilangkan. Dengan demikian, negara bisa memastikan representasi yang lebih baik dan beragam dari berbagai kalangan masyarakat, bukan hanya dari elite oligarki yang kuat modal finansial.

Sanksi Tegas

Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Salivanchuk Semen/Shutterstock
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Salivanchuk Semen/Shutterstock

Ketiga, meningkatkan pendidikan politik di masyarakat. Solusi mencegah atau minimal mengurangi terjadinya biaya politik yang mahal tidak cukup hanya pembenahan sistem. Harus diimbangi juga perbaikan mental dan moral berpolitik lewat pendidikan yang baik.

Kualitas pendidikan politik yang meningkat akan berbanding lurus dengan kesadaran akan pentingnya partisipasi politik yang inklusif. Dengan demikian nilai-nilai luhur sistem demokrasi akan kembali dijunjung tinggi.

Keempat, penguatan peran masyarakat sipil. Negara harus mendukung peran masyarakat sipil dalam mengawasi dan mengadvokasi reformasi politik. Hal ini diperlukan untuk memastikan perwakilan yang lebih adil dan akuntabel.

Uraian di atas sekiranya cukup menerangkan bahwa mahalnya biaya politik telah menjadi salah satu penyumbang terbesar kemunduran sistem demokrasi di Indonesia karena menyebabkan praktik korupsi, politik oligarki, dan tatanan pemerintahan yang lemah.

Biaya politik yang tinggi juga menjadi hambatan bagi orang-orang yang memiliki kualitas, kapasitas, dan integritas untuk berkontribusi memajukan negeri ini karena tidak bisa ikut kontestasi politik.

Kelima, sanksi yang tegas, di mana setiap pelanggaran yang dilakukan oleh siapa pun, dari kelompok mana pun, harus mendapatkan treatment yang sama dari penyelenggara pemilu. Tanpa adanya azas keadilan tersebut, niscaya kita akan berputar-putar tanpa pernah mengalami kemajuan.

Berkaca dari Pileg 2024 lalu, di mana pelanggaran hingga money politics begitu marak. Semua itu tidak bisa disalahkan kepada para Caleg dan peserta pemilu semata, karena tidak adanya sanksi yang tegas. Akibatnya semua pihak berupaya mencari celah, karena melihat penyelenggara yang seharusnya tegas, tidak menjalankan kewenangannya secara optimal.

Oleh karenanya, inilah saatnya KPU, Bawaslu dan semua pihak untuk membuktikan bahwa Pilkada 2024 akan lebih baik lagi daripada pemilu yang lalu. Penulis yakin, jika semua pihak mengedepankan niat untuk mewujudkan pemilu berintegritas demi penguatan demokrasi, maka kita akan mampu mewujudkannya di Pilkada mendatang.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar: