terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download
Apr 27th 2024, 12:29, by Abdul Rakan Jamaludin, Abdul Rakan Jamaludin
Saya ingin bernostalgia mengenai kekerasan saat sekolah. Ketika SMF (Sekolah Menengah Farmasi) dulu, saya berkawan dengan beberapa orang siswa yang kebetulan adalah anggota geng motor terkenal di Kota Bandung. Seperti diketahui, di Kota Bandung sendiri, sepanjang pengetahuan saya, ada dua kelompok besar geng motor yang notabene secara 'visi-misi' berseberangan. Tentu saja saya tidak perlu menyebut nama geng motornya. Karena perbedaan 'visi-misi' itulah sering terjadi keributan antar geng.
Di luar fenomena keributan yang acapkali terjadi antar kedua geng motor tersebut, kawan saya tadi sering bercerita mengenai teknis jika hendak masuk atau keluar dari geng motor. Jika saya bayangkan lagi rasanya agak ngeri-ngeri horor. Bagaimana tidak, jika hendak masuk geng ada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dilewati.
Yang paling umum adalah, sesama calon anggota akan diduelkan satu lawan satu. Biasanya event-nya diadakan di lapangan, atau di atas gunung dengan kondisi tanah berlumpur. Aturannya: tidak ada aturan. Kecuali satu mungkin, tidak boleh menggunakan senjata tajam.
Kemudian, ketika ada satu anggota yang hendak memutuskan keluar geng. Syaratnya pun tak mudah, yakni harus mampu menghabiskan minuman keras sebanyak 1 krat. Manakala si anggota tadi tidak mampu menghabiskan minuman tadi, alternatifnya adalah potong jari kelingking.
Ketika dulu mendengar cerita ini, saya sampai merinding. Sampai barusan menuliskannya pun, saya masih kembali merinding. Jangankan melakukannya, membayangkannya saja tetap saja merinding. Ngeri. Dan yang perlu dicatat, itu dilakukan para remaja, Anak belasan tahun.
Tentu saja cerita di atas tidak ada apa-apanya ketimbang berita anak Makassar yang tempo hari membunuh bocah demi menjual organ tubuhnya itu. Namun terlepas apapun bentuknya, kekerasan tetaplah kekerasan. Dan ya, yang paling anyar tentu saja si bocah anak mantan pejabat pajak itu.
Jika lebih mundur lagi, di fase SMP saya pun tak kalah brutalnya. Kawan-kawan saya mewajibkan diri setiap sabtu, sepulang sekolah, melakukan aktivitas papalidan, yaitu menyetop truk besar di tengah jalan, kemudian ketika truk besar tadi berhenti, bocah-bocah SMP tadi berhamburan naik ke atas bak truk.
Kemudian sepanjang jalan meneriakkan nama SMP tempat di mana kita sekolah dengan penuh kebanggaan. Namun bukan di situ kejutannya, sebelum naik truk besar, kawan-kawan saya sudah membekali diri dengan 'amunisi' untuk 'perang' dengan SMP sebelah yang akan dilewati jalur truk.
Apa yang terjadi ketika truk melewati SMP sebelah?
Mereka lemparkan semua 'amunisi' tadi dari atas truk ke arah di mana SMP lawan berada. Kaca jendela pecah. Penuh dengan bebatuan yang dilemparkan. SMP lawan melakukan perlawanan. Serang balik. Jika memungkinkan, di atur hari dan tanggal untuk mengadakan tawuran.
Alhasil, kepala teman saya kena bacok di kepala, kena gear, kena lemparan batu. Terluka. Bolos sekolah berhari-hari. Melewati fase-fase itu beruntungnya saya tak pernah terlibat. Di ajak sering. Namun sedikitpun saya tidak ada nafsu untuk mencicipinya. Bayangan kengerian, kematian, selalu menghantui saya.
Beberapa hari terakhir, atau bahkan beberapa hari sebelumnya, dan sebelumnya lagi, rasanya kabar tentang kekerasan itu masih belum selesai. Kawan-kawan saya pelaku kekerasan dulu itu, kini sudah sadar dan menjadi manusia pada umumnya. Menikah dan punya anak.
Ada yang sadar belakangan. Ada yang sadar sedari dulu. Untuk yang sadar sedari dulu, mereka hanya tertawa geli, membayangkan kekonyolannya dulu. Untuk yang sadar belakangan, mereka tertawa getir, merenungi penyesalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar