terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download
>10.000 artikel menarik ada disini,silahkan cari:
Riset CELIOS: PPN 12 Persen Berpotensi Tambah Beban Rakyat Rp 4,2 Juta per Tahun - my blog
Dec 24th 2024, 14:27, by Muhammad Darisman, kumparanBISNIS
Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkaji dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Selain terhadap inflasi, akan berdampak pula pada peningkatan pengeluaran masyarakat.
Menurut Direktur Hukum CELIOS, Mhd Zakiul Fikri, berkaca pada pengalaman 2022 saat PPN naik dari 10 persen ke 11 persen, inflasi melaju ke 3,47 persen (yoy). Pada Mei, Juni, dan Juli tahun yang sama, inflasi kembali meningkat masing-masing sebesar 3,55 persen, 4,35 persen, dan 4,94 persen (yoy).
"Inflasi itu telah menyebabkan merosotnya konsumsi rumah tangga, terutama bagi kelas menengah ke bawah," kata Zakiul dalam keterangan resmi, Selasa (24/12).
Zakiul melanjutkan, CELIOS juga telah mensimulasikan kenaikan kebutuhan masyarakat akibat kenaikan PPN, kelas menengah diprediksi mengalami penambahan pengeluaran hingga Rp 354.293 per bulan atau Rp 4,2 juta per tahun dengan adanya kenaikan tarif PPN 12 persen.
Sedangkan, lanjut dia, keluarga miskin diprediksi menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp 101.880 per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun.
"Kian mencekik bagi masyarakat karena meningkatnya jumlah pengeluaran berbanding terbalik dengan peningkatan pemasukan dari gaji bulanan yang rata-rata hanya tumbuh 3,5 persen per tahun," tegas Zakiul.
Zakiul mencatat, pada tahun 2023, rata-rata kenaikan gaji di Indonesia hanya 2,8 persen atau setara dengan Rp. 89.391 per bulan. Belum lagi ditambah dengan peningkatan jumlah pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang pada tahun 2023 menyentuh angka 11,7 persen.
"Akan Tetapi, pemerintah dengan enteng berlindung di balik narasi bahwa kenaikan itu merupakan perintah undang-undang, sehingga ambisi menaikkan tarif PPN terus diupayakan," tuturnya.
Desak Pemerintah Batalkan UU HPP Lewat Perppu
Zakiul mengungkapkan, pemerintah sebenarnya bisa menunda bahkan tidak jadi memberlakukan kenaikan tarif PPN sesuai Bab IV tentang Pajak Pertambahan Nilai Pasal 4 Angka 2 Undang-Undang 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dari Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 mengatur bahwa tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Terhadap norma ini, dia menyebutkan ada dua hal yang perlu dicatat.
"Pertama, tujuan norma hukum dibuat bukan hanya untuk kepentingan kepastian hukum (rechtszekerheid), tetapi harus pula memuat kemanfaatan-kepatutan dan keadilan hukum (billijkheid en rechtvaardigheid)," jelas Zakiul.
Kedua, kata dia, ketentuan mengenai pemungutan pajak seharusnya dapat mewakili kepentingan rakyat atau publik, sejalan dengan prinsip tidak ada pajak tanpa keterwakilan (no taxation without representation).
"Ketika data menunjukkan bahwa kenaikan PPN berdampak pada krisis ekonomi bagi masyarakat dan menghantarkan rakyat ke jurang kemiskinan, maka berarti secara materiil norma perundang-undangan yang memerintahkan kenaikan PPN tidak memuat kepatutan dan keadilan hukum," imbuhnya.
Zakiul memaparkan, setidaknya ada tiga alasan mengapa pembatalan kenaikan PPN 12 persen harus dikeluarkan. Pertama, norma kenaikan PPN menimbulkan masalah hukum yang mendesak untuk diselesaikan.
"Masalah hukum itu mulai dari inflasi atau naiknya harga barang jasa, merosotnya kemampuan konsumsi rumah tangga kelas menengah ke bawah, meningkatnya angka pengangguran, tertekannya UMKM, industri manufaktur dan potensi menambah jumlah rakyat miskin di Indonesia," ucapnya.
Kedua, keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 tidak memadai karena tidak memuat kepatutan dan keadilan hukum, dan ketiga kondisi saat ini tidak mungkin diatasi dengan cara membuat atau merevisi UU melalui prosedur biasa, mengingat memakan waktu yang cukup lama sementara keadaan telah mendesak.
Dengan demikian, Zakiul menyebut jika norma tersebut dipaksakan berlaku, menyebabkan timbulnya masalah hukum (rechtsprobleem) atau bahkan kekacauan hukum (rechtsverwarring).
Padahal, dia mengatakan pemerintah bisa saja mengevaluasi kenaikan PPN dengan menurunkannya hingga menjadi 5 persen atau menaikkan hingga maksimum 15 persen, sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (3).
"Namun, menurunkan angka PPN atau menunda saja berlakunya kenaikan PPN mustahil terjadi, sebab mereka fokus untuk menjalankan perintah dari Pasal 7 ayat (1), dalih yang terus diumbar di berbagai media," tegasnya.
Selain itu, menurut dia, pelaksanaan norma Pasal 7 ayat (3) harus dilakukan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sesuai ketentuan dari Pasal 7 ayat (4). Akibatnya, memakan proses yang panjang, lama, dan rumit.
Dengan begitu, Zakiul menilai terhadap perintah Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021, pemerintah wajib menganulirnya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Hal ini berkaca pada Presiden Jokowi pernah menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Kepentingan Pajak. Perppu ini lahir terkait tax amnesty yang lebih banyak dinikmati oleh orang kaya dan pengemplang pajak.
"Kalau Jokowi menerbitkan Perppu untuk orang kaya dan pengemplang pajak maka ini saatnya Prabowo meninggalkan bayang-bayang Jokowi, dengan menerbitkan Perppu membatalkan kenaikan PPN 12 persen di UU HPP dan saatnya berpihak pada masyarakat menengah bawah yang tengah dihimpit berbagai kesulitan ekonomi," tandas Zakiul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar