terunik teraneh terselubung blogspot.com terlucu menarik di dunia tapi nyata dan terlangka aneh22 video gambar ajaib bin ajaib kau tuhan sungguh penuh kuasa unik77.tk unik4u unic77.tk gokil extreme medis kriminal arkeologi antariksa UFO dinosaurus kita flora fauna misteri bumi militer hiburan ekonomi bahasa teknologi sejarah politik tokoh hukum mumi rumor motivasi moral hewan tumbuhan tips trick kuliner otomotif pendidikan galleri musik sms hantu wallpaper artis indonesia foto hot syur panas download
>10.000 artikel menarik ada disini,silahkan cari:
Kategori Barang Mewah yang Kena PPN 12 Persen Dinilai Belum Jelas - my blog
Dec 7th 2024, 16:03, by Muhammad Darisman, kumparanBISNIS
Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan tetap memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal 2025. Hal ini diungkapkan saat memberikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (6/12).
Nantinya barang mewah seperti mobil, rumah, dan apartemen akan dikenakan kenaikan tarif PPN jadi 12 persen. Penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tidak akan diperlakukan kepada rakyat kecil.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai ada diksi tarif PPN khusus barang bawah sebesar 12 persen yang seharusnya tidak perlu. Pemerintah cukup menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) saja, alih-alih tarif PPN.
"Ada instrumen PPnBM yang sudah berlaku sejak lama yang dikenakan kepada beberapa barang mewah seperti mobil mewah, rumah mewah, hingga helikopter. Tarif yang dikenakan juga di rentang 10-200 persen," kata Huda kepada kumparan, Sabtu (7/12).
Selain itu, ada kekhawatiran pemerintah akan memperluas definisi dari barang mewah sehingga banyak yang dahulunya barang tidak masuk kategori barang mewah, menjadi masuk ke kategori barang mewah. Menurutnya, tidak ada jaminan objek pajak akan diperluas untuk menerapkan tarif PPN 12 persen. Termasuk barang-barang yang dikonsumsi oleh kelas menengah dan menengah ke bawah.
"Tidak ada jaminan dari pemerintah tidak memperluas cakupan tarif PPN 12 persen di tahun-tahun mendatang," katanya.
Huda menegaskan, barang sembako, kesehatan, dan pendidikan, memang tidak termasuk ke barang-barang yang dikenakan PPN dan aturan ini sudah berlaku lama.
"Jadi tidak perlu menggunakan informasi ini hanya untuk gimmick semata. Pada pembahasan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan bahkan ada usul bahwa barang sembako, pendidikan, hingga kesehatan tidak jadi masuk ke barang kena PPN. Berkat perlawanan dari masyarakat," kata Huda.
Dengan demikian, Huda mengusulkan agar pemerintah dapat mengambil berbagai tindakan seperti menurunkan tarif PPN ke angka 10 persen dengan melihat kondisi daya beli masyarakat yang masih tertekan. Menggunakan instrumen tarif PPnBM untuk menaikkan setoran pajak dari perdagangan barang mewah.
Sementara Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, menilai keputusan pemerintah untuk mengenakan tarif PPN 12 persen pada barang mewah merupakan langkah alternatif untuk memaksimalkan penerimaan negara dengan meminimalisir membebani masyarakat.
"Dengan skema ini, diharapkan barang yang tergolong tidak esensial menjadi kontributor utama pendapatan pajak, sementara barang kebutuhan dasar tetap mendapatkan perlindungan melalui tarif PPN yang lebih rendah," kata Rizal kepada Kumparan, Sabtu (7/12).
Menurut Rizal, strategi ini secara praktik harus menggambarkan prinsip keadilan pajak, di mana individu atau kelompok dengan kemampuan ekonomi lebih tinggi berkontribusi lebih besar terhadap pendapatan negara.
Namun, tantangannya terletak pada definisi, praktik, dan pengawasan terhadap kategori barang mewah agar kebijakan ini tidak membuka celah penyalahgunaan dan menghindari ketidakpastian dan ambigu di kalangan pelaku usaha.
Di sisi lain, pengkajian penurunan pajak untuk barang kebutuhan masyarakat merupakan langkah positif tetapi menimbulkan pertanyaan tentang realisasinya dalam waktu yang relatif singkat sebelum implementasi penuh PPN 12 persen pada 2025.
"Untuk memastikan kebijakan ini berjalan realistis, pemerintah harus segera merampungkan kajian, termasuk dampaknya terhadap pendapatan negara," kata Rizal.
Target pendapatan pajak 2025 sebesar Rp 2.490,9 triliun cukup ambisius, dan kebijakan penurunan pajak untuk barang kebutuhan pokok dapat memengaruhi pencapaian target tersebut.
Menurut Rizal, diperlukan strategi kompensasi, misalnya dengan memperluas basis pajak melalui reformasi sektor informal atau pajak digital, agar penerimaan tetap stabil.
"Kritiknya, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada komunikasi publik yang baik dan penegakan hukum perpajakan yang transparan," ujarnya.
Rizal menekankan pemerintah harus memperjelas dampak positif kebijakan ini terhadap daya beli masyarakat dan perekonomian.
Selain itu, efektivitas kebijakan juga akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah dalam mengelola potensi distorsi pasar akibat kenaikan tarif untuk barang tertentu dan penurunan untuk yang lainnya.
Jika tidak ditangani secara tepat, kebijakan ini dapat menciptakan beban administrasi tambahan bagi pelaku usaha atau bahkan inflasi pada kategori barang yang kurang terjangkau pajaknya.
"Dengan persiapan yang matang dan pendekatan yang holistik, langkah ini dapat menjadi instrumen penting dalam menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan perlindungan masyarakat," kata Rizal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar