Unikaja.com - Lebih dari 500 warga Muslim Amerika keturunan Afrika beribadah di Masjid Muhammad di Washington, rumah tertua bagi komunitas Muslim Afrika-Amerika di AS. Talib Shareef, seorang pensiunan Angkatan Udara Amerika Serikat, adalah imam baru di Masjid Muhammad.
|
Jamaah Masjid Muhammad di Washington, yang sebagian besar adalah warga Amerika keturunan Afrika, sedang khusyuk shalat. |
Ia mengatakan bahwa pengalaman Muslim berkulit hitam di AS berbeda dari kebanyakan Muslim yang lain. "Hampir semua warga Afrika-Amerika di Amerika berasal dari kaum gerejani," kata Shareed.
"Dengan demikian, sebagian besar anggota keluarga kami tidak paham tentang Islam. Kami harus menjelaskan tentang banyak hal. Kami harus banyak bercerita mengenai kehidupan kami dengan siapapun di sekitar kami, karena masih minoritas," sambungnya lagi.
Jocelyn Cole, 24, tumbuh dalam tradisi agama Kristen dan Islam. Ibunya adalah penganut agama Kristen Adven Hari Ketujuh, sementara ayahnya berpindah ke agama Islam sebelum dia lahir.
"Kapanpun saya bersama ayah saya selama bulan Ramadhan, saya selalu teringat waktu kecil saya pergi ke pasar untuk mencari kurma untuk berbuka puasa. Jadi, meskipun saya tidak mengerti atau tidak berpuasa penuh sepanjang hari, saya hanya ingat makan kurma bersama ayah saya saat matahari terbenam," kenang Cole.
Sementara para jemaah wanita saling menyapa di dalam ruang mereka, para petugas dapur menyajikan makanan pembuka puasa berupa ayam dengan nasi dan kacang panggang.
Bagi Ibrahim Mumin, cicit dari seorang budak, Ramadhan adalah kesempatan penting untuk berbagi keimanannya dengan non-muslim. Tapi, Mumin mengatakan bahwa setelah peristiwa 11 September, banyak warga Amerika takut dengan warga Muslim karena mereka tidak paham tentang Islam.
"Saya menghadiri sebuah resepsi dan mereka bertanya saya berasal dari mana karena banyak orang Amerika memiliki persepsi bahwa semua Muslim berasal dari negara lain," kata Mumin.
"Dan saya dari Amerika Serikat. Saya keluarkan paspor saya, yang tulisan yang tertera di atasnya sama seperti paspor anda bertuliskan 'Amerika Serikat,'" katanya lagi.
Menurut Iman Shareef, ada keterkaitan kuat antara sejarah Afrika-Amerika yang berjuang untuk kebebasan dan persamaan hak sejak berakhirnya perbudakan pada 1860, dan tradisi Islam dalam mencari kebebasan spiritual.
Ramadan, katanya, adalah sebuah kesempatan bagi Muslim berkulit hitam di Amerika untuk mengingatnya. "Anda tahu, kami keluar dari perbudakan," jelas Shareef.
"Jadi, itu merupakan perjalanan untuk menyaksikan kebebasan bagi kemanusiaan. Dan menjadi seorang Muslim melalui pengalaman tersebut menegaskan tiga kata, kebebasan, keadilan dan persamaan hak. Itulah yang kami inginkan. Setiap manusia juga menginginkan hal itu," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar