Dan, kun fayakun. Anaknya yang sakit itu pun sembuh. Abu Bakar pun kemudian berusaha menepati nadzar dan janjinya. Maka ia pun menempuh jarak sekitar 6000 KM dari kampung halamannya menuju kampung haji di negeri seberang nun jauh di sana dengan berjalan kaki.
Cerita tersebut bermula dari hari-hari di masa perang Chechnya di awal tahun 90-an. Sebuah roket jatuh menimpa rumahnya. Tak hanya rumah yang hancur lebur, tetapi juga nyawa orang-orang yang dicintainya mangkat: mulai dari ayah, ibu, istri, dan tiga anaknya.
Ada satu anak yang masih selamat, dan ia hidup, namun mengalami luka yang sangat parah. Ia anak Abu Bakar yang keempat, namanya Syarif. Usianya saat itu baru sepuluh tahun.
Tak terbayang bagaimana dalamnya duka yang merajam hati Abu Bakar. Seluruh keluarganya telah meregang nyawa, kecuali anak bungsunya. Itu pun terluka sangat parah. Seutas harapan hasih tersisa pada si bungsu. Ia berharap anaknya bisa sembuh. Dan, ia pun berjanji dan bernadzar, bahwa jika anak yang tinggal satu-satunya itu bisa sembuh, maka ia akan pergi berhaji, dengan berjalan kaki.
Kuasa Allah. Syarif bisa sembuh. Abu Bakar pun mulai untuk menunaikan janji dan nadzarnya. Segala bekal dan persiapan telah ia siapkan sedemikian rupa. Ia pun memulai perjalanannya, melintasi Chechnya, Dagestan, Azerbaijan, Turki, Suriah, Yordania, lalu Saudi Arabia.
Berbagai macam rintangan ia temui sepanjang perjalanan, dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Namun ia pun menghadapinya dan berhasil menaklukkannya. Hingga sampailah pada akhirnya Abu Bakar di tanah suci.
Abu Bakar bersyukur, bisa melunasi nadzarnya, bersyukur atas kesembuhan anaknya, keselamatan dirinya, dan utamanya bisa berhaji ke tanah suci, ke rumah Allah yang disucikan.
Seusai menunaikan ibadah haji, kini, Abu Bakar berencana untuk segera pulang ke Chechnya. Apakah dengan naik kendaraan? Tidak, ternyata dengan cara semula: berjalan kaki. (AGS/L2/ukkazh/eramuslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar